Indonesia: Era 1945-1949
Dari
1945 hingga
1949,
persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan,
melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda
tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk
membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat.
Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota
kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan
Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada
27 Desember 1949 (lihat artikel tentang
27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu
Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60
PBB.
[sunting] Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi
undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau
MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun
1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara
sekuler yang berdasarkan
Pancasila
sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau
undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam
takluk kepada
hukum Islam.Demokrasi
Parlementer, adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan
legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif. Kepala pemerintahan
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan
menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen.
Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.
[sunting] Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di
Sumatera,
Sulawesi,
Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah
kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem
parlemen Indonesia. Akibatnya pada
1959 ketika Presiden
Soekarno
secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak
menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "
Demokrasi Terpimpin".
Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok,
kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas
jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok
Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di
Bandung,
Jawa Barat pada tahun
1955 dalam
KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi
Gerakan Non-Blok.
Pada akhir
1950-an dan awal
1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada
Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar
Uni Soviet dan
China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
[sunting] Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap
belahan barat pulau
Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada
1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut
dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat
di Irian pada
18 Desember
sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan
Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda
agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang
menghasilkan
Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap
Irian Jaya pada
1 Mei 1963.
[sunting] Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi
Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial
Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan
Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh
imperialisme
negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara
Inggris dan Australia untuk memengaruhi perpolitikan regional Asia.
Menanggapi keputusan
PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal
20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (
CONEFO) sebagai tandingan
PBB dan
GANEFO sebagai tandingan
Olimpiade.
Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran
antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
[sunting] Gerakan 30 September
Hingga
1965,
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno
untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari
Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "
Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada
30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya
kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto,
menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu
menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari
puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah
korban jiwa pada
1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di
Jawa dan
Bali.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia#Proklamasi_kemerdekaan